Tulang Bawang Barat 03/12/2025 Belakangan ini publik kembali membicarakan fenomena banyaknya bencana besar di Indonesia yang terjadi bertepatan pada tanggal 26. Mulai dari Tsunami Aceh (26 Desember 2004), Gempa Tasikmalaya (26 September 2017), hingga Letusan Krakatau (26 Agustus 1883), pola ini memunculkan spekulasi bahwa tanggal 26 memiliki makna spiritual tertentu atau menjadi pertanda khusus.
Menjawab keresahan tersebut, Samsul Mungin, S.Pd.I, tokoh muda Nahdliyin sekaligus pemerhati kebencanaan BAZNAS Tulang Bawang Barat, memberikan penjelasan lengkap dari perspektif ulama, dalil Al-Qur’an, hingga analisis ilmiah.
Menurut Samsul Mungin, Islam tidak pernah mengajarkan adanya hari, tanggal, atau angka pembawa sial maupun pembawa musibah. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Tidak ada yang mengetahui perkara ghaib selain Allah.”
(QS. An-Naml: 65)
Samsul menjelaskan bahwa makna ayat tersebut sangat jelas:
“Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memastikan kapan bencana terjadi. Tanggal tidak punya kekuatan apa pun. Musibah terjadi karena ketetapan Allah, bukan angka.”
Ia melanjutkan dengan ayat lain:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah.”
(QS. At-Taghabun: 11)
“Musibah adalah kehendak Allah, tetapi Islam tidak pernah menetapkan tanggal tertentu sebagai penyebab atau tanda-tanda khusus,” tegasnya.
Samsul Mungin menegaskan bahwa keyakinan terhadap angka sial termasuk tathayyur, yakni kepercayaan kuno yang sudah dibatalkan oleh Rasulullah ﷺ.
Rasulullah bersabda:
“Tidak ada thiyarah (anggapan sial).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Mengutip Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim, Samsul menjelaskan:
“Segala keyakinan bahwa angka, hari, atau suara tertentu membawa sial adalah keyakinan batil dan bertentangan dengan syariat.”
Karena itu, menurutnya:
“Mengaitkan tanggal 26 sebagai angka musibah tidak memiliki dasar agama. Ini hanya persepsi manusia, bukan ketetapan Allah.”
Samsul Mungin menegaskan bahwa fenomena ini harus disikapi secara objektif. Ia memaparkan tiga penjelasan ilmiah:
- Indonesia berada di Cincin Api Pasifik
“Indonesia adalah negara rawan gempa karena posisinya di pertemuan tiga lempeng dunia. Gempa bisa terjadi kapan saja, tidak mengikuti kalender,” jelasnya.
- Pola kebetulan statistik
Dalam statistik, kejadian yang terlihat berulang pada tanggal tertentu disebut statistical coincidence atau kebetulan pola.
“Bencana juga sering terjadi pada tanggal 11, 2, 17, atau 30. Tetapi karena tanggal 26 berkaitan dengan peristiwa besar, maka lebih mudah diingat,” ungkapnya.
- Efek trauma memori publik
Tsunami Aceh 26 Desember 2004 menjadi trauma nasional. Setelah itu, setiap bencana tanggal 26 otomatis dianggap sebagai pola.
“Ini disebut availability heuristic, yaitu kecenderungan manusia menganggap sesuatu sebagai pola karena sering diingat.”
- Tidak ada hubungan astronomis
BMKG, LIPI, hingga USGS menegaskan:
- Tidak ada pola gravitasi tanggal 26
- Tidak ada siklus bencana berdasarkan kalender
- Tidak ada hubungan dengan fase bulan
“Artinya, dari sisi sains pun tanggal 26 bukan penentu,” tambah Samsul.
Samsul Mungin mengatakan bahwa fokus umat Islam bukan pada tanggal musibah, tetapi pada pesan spiritual di baliknya.
- Bencana adalah ujian keimanan
(QS. Al-Baqarah: 155)
- Bencana adalah peringatan bagi manusia untuk kembali kepada Allah
(QS. Al-Isra: 59)
- Bencana menghapus dosa bagi orang beriman
(HR. Bukhari)
“Bencana adalah panggilan Allah agar kita makin taat, bukan untuk menakutkan pada angka tertentu,” ujarnya.
Di akhir kajian, Samsul Mungin memberikan empat imbauan:
- Perbanyak doa perlindungan
Doa Rasulullah ﷺ:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari bencana, kebinasaan, dan kematian yang buruk.”
- Perkuat sedekah
Ia mengutip hadis bahwa:
“Sedekah dapat menolak bala.”
(Derajat hasan lighairihi)
- Tingkatkan kesiapsiagaan
“Mitigasi bencana harus terus ditingkatkan. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga sosial seperti BAZNAS punya peran besar dalam penyelamatan jiwa,” ungkap Samsul.
- Jadikan Zakat, Infak, dan Sedekah sebagai bentuk kepedulian sosial
Menurutnya, dana ZIS sering menjadi penopang bantuan darurat seperti:
- logistik bencana,
- hunian sementara,
- pemulihan ekonomi korban,
- layanan psikososial.
“Ini bukti bahwa amal shalih bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga penyelamat kemanusiaan,” tegasnya.
Samsul Mungin menutup keterangannya dengan pesan:
“Yang harus kita takuti bukan tanggalnya, tetapi jauhnya hati kita dari Allah. Setiap bencana adalah seruan agar manusia kembali pada kebaikan.”
Dengan demikian, fenomena bencana tanggal 26 bukan pertanda spiritual, tetapi kombinasi trauma sosial, kebetulan statistik, dan kondisi geologis Indonesia.
















