TAJUK teras informasi — Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) jatuh pada 9 Desember setiap tahun. Tanggal ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2003 sebagai bagian dari kampanye global untuk melawan korupsi.
Penetapan ini bukan tanpa alasan. PBB melihat korupsi sebagai penyakit “pandemi sosial” yang sama ganasnya dengan kanker, HIV, ataupun diabetes yang membunuh pelan, melemahkan sendi negara, dan menghancurkan masa depan bangsa.
Korupsi adalah perilaku “jorok” satu bentuk kerusakan moral dan spiritual yang tidak cukup ditangani dengan cara-cara lunak atau biasa.
Beberapa negara seperti China, korupsi ditindak dengan hukuman mati. Sebuah pendekatan ekstrem yang menunjukkan betapa seriusnya ancaman korupsi terhadap keberlangsungan negara.
Tidak ada satupun negara di dunia ini yang maju karena korupsi. Tidak ada bangsa yang sejahtera karena para pejabatnya mencuri uang rakyat.
Sebaliknya, negara-negara yang korup selalu terpuruk, ekonominya morat-marit, rakyatnya hidup dalam penderitaan, dan pemerintahannya kehilangan kehormatan.
Indonesia adalah salah satu negara yang terpuruk karena masalah korupsi. Korupsi seolah telah menjadi budaya keseharian, meresap dari lingkungan sosial sampai institusi birokrasi pemerintahan.
Kita bahkan mengenal istilah “sweet smile corruption”, dimana pelakunya bisa tertawa, melambaikan tangan, bahkan menampilkan wajah religius, seolah-olah tidak ada dosa yang sedang ia pikul. Korupsi di negeri ini sering datang dalam bungkus kesalehan.
Dan setiap kali memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia selalu saja muncul kata-kata manis dari para pejabat publik. Mereka berbicara tentang integritas, kejujuran, komitmen anti korupsi, dan niat membersihkan birokrasi.
Ironisnya justru yang paling lantang berbicara soal kejujuran dan integritas justru sering menjadi “pesakitan” di kemudian hari. Tidak sedikit yang akhirnya harus berurusan dengan Kejaksaan, Kepolisian, atau dijemput lewat OTT KPK.
Model pemimpin seperti ini sangat banyak kita temukan. Dalam ajaran Islam tipe ini disebut orang munafik. Ciri-cirinya begitu jelas. Jika berbicara, ia berdusta, jika berjanji, ia mengingkari, dan jika diberi kepercayaan, ia berkhianat.
Tiga ciri itu bukan sekadar konsep teologis tetapi gambaran nyata sebagian pejabat publik hari ini. Mereka bicara anti korupsi, tetapi tangan mereka sendiri yang mengambil uang rakyat. Mereka tampil religius, tetapi hati mereka mengkhianati amanah.
Hari Anti Korupsi Sedunia seharusnya menjadi refleksi bukan hanya seremoni. Menjadi cermin untuk menilai, apakah pemimpin kita benar-benar berintegritas atau hanya piawai memainkan simbol moral sambil menyembunyikan kerakusannya.
Selama kita masih dipimpin oleh pemimpin yang bermuka manis namun berhati munafik, korupsi akan selalu menemukan tempat tumbuh. Dan selama itu pula, rakyat akan tetap menjadi korban dari penyakit bangsa yang bernama korupsi.
Penulis : Ahmad Basri : Ketua Kajian Kritis Kebijakan Pembangunan (K3PP)
Editor : Ahmad Sobirin
















