TAJUK TERAS INFORMASI — Di tengah derasnya arus informasi dan semakin terbukanya ruang kritik publik, ada satu hal yang tetap stagnan—pola sikap sebagian pejabat publik kita yang abai rasa malu.
Dari masa ke masa, mereka seolah tak pernah belajar. Meski kebijakan yang dikeluarkan terbukti menyengsarakan rakyat, tak ada rasa bersalah, apalagi niat meminta maaf atau mundur dari jabatan. Bencana demi bencana datang, dan yang muncul justru aksi pencitraan: hadir di lokasi bencana bersama kamera, melempar empati palsu, mengucapkan kalimat-kalimat iba yang lebih terdengar seperti naskah, bukan nurani.
Padahal publik tahu, banyak bencana adalah ulah manusia, termasuk pejabat yang abai terhadap tata kelola lingkungan dan pembangunan. Tapi ketika bencana datang, mereka lebih cepat menyalahkan hujan, sungai, atau bahkan takdir, ketimbang melihat ke cermin.
Apakah kita pernah melihat pejabat mundur karena merasa gagal? Hampir tidak. Di negeri ini, mempertahankan jabatan jauh lebih penting daripada menjaga martabat. Mengucapkan maaf pun enggan, apalagi bertanggung jawab secara ksatria.
Bandingkan dengan Jepang, di mana rasa malu adalah bagian dari etika kepemimpinan. Ketika terjadi kegagalan, pejabat di sana meminta maaf secara terbuka, bahkan mengundurkan diri—bukan karena kalah, tapi karena sadar akan tanggung jawab moral.
Sementara di sini, jangankan mundur secara sukarela—dipaksa pun enggan. Inilah cerminan bangsa yang sedang krisis: krisis malu, krisis tanggung jawab, dan krisis keteladanan. Semakin tinggi jabatan, semakin tebal pula kulit muka.
#TajukTerasInformasi
#KritikPublik
#KrisisKeteladanan
#EtikaPemimpin
#RasaMaluPemimpin
#PanggungPencitraan
#BencanaDanPencitraan
Penulis : Ahmad Basri : Ketua Kajian Kritis Kebijakan Pembangunan (K3PP)
Editor : Ahmad Sobirin
















