Dengan tubuh kurus, jenggot yang menghiasi wajah, dan sorot mata teduh namun tegas, H. Susilo Aris Nugroho memancarkan kewibawaan yang alami. Setiap kalimat yang terucap mengalir runtut dan menenangkan, mencerminkan perjalanan intelektual dan pengalaman hidupnya yang kaya.
Menyandang gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Sarjana Agama dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pria yang kini memimpin Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung ini justru memilih jalan hidup yang tak terduga: menjadi petani.
Di Tubaba, ia akrab disapa “Mas Aris,” panggilan yang mencairkan batas sosial. Tidak ada kesan seorang pejabat organisasi besar pada dirinya. Ia lebih memilih aroma tanah, getah karet, dan deru mesin pengolah singkong daripada berlama-lama di ruang pertemuan ber-AC. Baginya, ladang bukan sekadar sumber nafkah, melainkan ruang dakwah, pengabdian, dan pendidikan bagi mereka yang bekerja bersamanya.
Tidak banyak orang dengan latar belakang pendidikan ilmu pemerintahan dan agama yang memilih kembali ke kampung halaman untuk bertani. Namun, bagi Susilo Aris Nugroho, kembali ke Tubaba adalah panggilan jiwa.
“Ilmu itu bukan untuk membuat kita tinggi, melainkan untuk membuat kita bermanfaat,” ujarnya sambil mengawasi pekerja menyadap getah karet.
Ia pulang dengan semangat membangun, bukan dengan pidato atau proyek besar, tetapi dengan menata sektor paling dasar: pertanian. Kedaulatan pangan adalah fondasi kemandirian masyarakat. Petani yang kuat akan menciptakan keluarga yang kuat, dan keluarga yang kuat akan memudahkan pembinaan, pendidikan, serta perawatan moral dan sosial masyarakat.
Sebagai petani yang memiliki lahan kebun karet, lahan ketela, dan budidaya tanaman pangan, Susilo mempekerjakan sejumlah karyawan tetap yang dianggapnya sebagai keluarga besar.
Dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan petani, Susilo memperkenalkan terobosan baru dengan menggandeng kolega dari Malaysia. Mereka membawa teknologi penyadapan karet sistem tebuk yang terbukti meningkatkan produksi getah secara signifikan. Bahkan, Jenderal Moeldoko menyempatkan hadir di perkebunan karet Opal Nenemo milik Susilo untuk mempraktikkan metode yang dipercaya tidak merusak batang karet dan memperpanjang usia produktif pohon.
Hubungan antara Susilo dan para pekerja lebih dari sekadar relasi majikan-buruh. Mereka sering makan, berdiskusi, dan saling membantu masalah keluarga. “Saya ingin membangun orang, bukan hanya mempekerjakan mereka,” tegasnya.
Para pekerja mengenal Susilo sebagai sosok yang tidak banyak bicara, namun selalu tepat sasaran. Ia memulai hari lebih awal dari petani lainnya, memastikan semua pekerjaan berjalan lancar sebelum mengurus agenda organisasi.
Sebagai Ketua PDM Tubaba, ia sering berpindah tempat untuk pembinaan cabang, konsolidasi amal usaha, diskusi kaderisasi, dan menghadiri majelis resmi. Namun, di sela kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri kembali ke ladang.
“Ladang ini membuat saya tetap eling,” ujarnya sambil tersenyum.
Baginya, jabatan Ketua PDM adalah amanah yang harus ditunaikan dengan rendah hati. Ia mengajak seluruh kader Muhammadiyah di Tubaba untuk meneladani kemandirian ekonomi. Dakwah bukan hanya ceramah, tetapi juga keteladanan dalam bekerja, mengelola sumber daya, dan menghadirkan kesejahteraan nyata bagi keluarga dan lingkungan.
Ia berpesan kepada para kader muda: “Jangan takut menjadi petani. Tanah kita luas. Jangan semua ingin jadi pegawai. Kita butuh kader yang menanam.”
Sebagai tokoh Muhammadiyah, ia dikenal moderat dan bijak. Ia menjadi penyeimbang ketika arus politik identitas muncul, memberikan pendapat kritis dengan santun.
“Muhammadiyah itu memajukan dan mencerahkan, bukan memecah,” tegasnya.
Dalam forum internal, ia tegas dan sistematis. Dalam perjumpaan masyarakat, ia ramah dan mudah didekati. Ketegasan dan ketulusannya membuatnya dihormati.
Keputusan menjadi petani membuatnya dekat dengan realitas warga, memahami harga getah karet, tantangan pupuk mahal, dan kesulitan pekerja. Semua itu menjadi modal berharga dalam memimpin organisasi. Dakwahnya tidak hanya wacana, tetapi solusi untuk persoalan sehari-hari umat.
Warga Tubaba mengenal Susilo sebagai tokoh yang aktif mengawal kegiatan sosial, dari pembangunan masjid hingga program pemberdayaan ekonomi keluarga. Atas pengabdiannya, ia menerima penghargaan Satya Lencana Adhitya Karya Mahatva Yodha Utama 2022 dari Gubernur Lampung.
Baginya, dakwah adalah cara hidup, bukan sekadar seragam yang dipakai saat rapat.
Susilo Aris Nugroho tidak mencari sorotan. Ia bekerja dalam diam, mengayomi tanpa gembar-gembor. Dalam kesunyian itulah keteladanan tumbuh.
Sebagai kader Sang Surya, ia menghadirkan wajah Muhammadiyah yang membumi: agama yang dipraktikkan di ladang, di rumah, di tengah masyarakat; ilmu yang menjejak pada tanah tempat ia menanam harapan.
Di Tubaba, pengabdiannya meneguhkan bahwa kebesaran Muhammadiyah lahir dari kader-kader di daerah yang bekerja tanpa pamrih.
Sosok kurus berjenggot ini mungkin tidak sering tampil di panggung besar. Namun, dari ladang karet dan ketela, ia menumbuhkan nilai kemandirian, ketulusan, dan pengabdian. Dari sana, cahaya Sang Surya terus menyala, memberi arah bagi banyak orang di bumi Ragem Sai Mangi Wawai, Tubaba.
















